Suara62.id || Bogor – Maraknya alih fungsi lahan di kawasan Puncak, Bogor, memunculkan pertanyaan besar: masihkah pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memiliki keberanian dan keberpihakan terhadap lingkungan?

Alih fungsi kawasan hijau menjadi vila, glamping, dan objek wisata buatan bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini adalah bentuk pengabaian terhadap ancaman bencana ekologis yang semakin nyata: banjir, longsor, kekeringan, dan hilangnya daya dukung lingkungan.

Ironisnya, banyak pembangunan tersebut dilakukan secara legalistik melalui skema Kerja Sama Operasional (KSO) antara pemilik lahan besar seperti PTPN I Regional 2 dengan pihak swasta. Lahan-lahan yang secara fungsi seharusnya menjadi kawasan konservasi dan perkebunan, justru dialihfungsikan menjadi objek bisnis yang mengabaikan daya dukung lingkungan.

KLHK sebagai otoritas tertinggi di sektor ini justru tampak gagap. Penyegelan sejumlah lokasi yang disebut-sebut melanggar aturan lingkungan dan tata ruang hanya menjadi aksi seremonial belaka. Tanpa eksekusi nyata, penyegelan hanya menjadi pajangan. Aktivitas terus berlangsung, bangunan tetap berdiri, dan lahan tetap dikuasai.
Berikut daftar sebagian perusahaan yang telah disegel, namun tidak jelas tindak lanjutnya:
- PT Perusahaan Perkebunan Sumber Sari Bumi Pakuan (PPSSBP)
- PTPN I Regional 2 Gunung Mas
- Eiger Adventure Land, Megamendung
- PT Bobobox Asset Management (Bobocabin Puncak)
- PT Pinus Foresta Indonesia
- PT Kurnia Puncak Wisata
- CV Mega Karya Nugraha
- PT Jelajah Handal Lintasan
- PT Farm Nature & Rainbow Add
Menteri LHK, Hanif Faisol Nurofiq, sebelumnya menyebut ada 18 KSO yang akan ditindak, serta 33 lokasi lain yang masuk daftar pelanggaran lingkungan. Namun, hingga saat ini belum ada pembongkaran, pencabutan izin, maupun pemulihan kawasan secara konkret. Bahkan, jumlah pelanggar di lapangan diduga jauh lebih banyak daripada yang diumumkan.
Sejak 2022, PTPN I Regional 2 juga telah mendapat peringatan dari Bappedalitbang Kabupaten Bogor untuk menghentikan KSO yang telah melampaui ambang batas Koefisien Zona Terbangun (KZT) dan Koefisien Wilayah Terbangun (KWT). Namun, tidak ada sanksi nyata atas pengabaian peringatan tersebut.
Pada Senin, 15 April 2025
Karukunan Wargi Puncak, sebagai komunitas warga yang aktif mengawal isu lingkungan, mempertanyakan keseriusan KLHK. “Jika KLHK memang ragu untuk bertindak, kami siap mendampingi. Seperti dalam kasus pembongkaran HIBISC (PT Jaswita Lestari), itu terjadi karena ada pengawalan rakyat,” ujar perwakilan Karukunan Wargi Puncak.
Menurut mereka, penegakan hukum lingkungan tidak boleh lagi bersifat kosmetik. “Tanpa keberanian, hukum kehilangan wibawanya. Tanpa keberpihakan, kebijakan hanya akan jadi dokumen tanpa makna.”
Karukunan menegaskan, masyarakat siap mengawal setiap upaya penyelamatan lingkungan, selama pemerintah menunjukkan komitmen yang nyata. Jangan sampai penyegelan hanya menjadi episode simbolis dalam drama panjang kehancuran kawasan hijau.
( JS )
Suara62.id || Tangerang- Polres Metro Tangerang Kota, Polda Metro Jaya melalui Polsek Jatiuwung menggerebek home industry minuman keras (miras) jenis Ciu di Perumahan Pondok Makmur, Jalan Bahagia, Kelurahan Gebang Raya, Kecamatan Periuk, Kota Tangerang, Banten. Jum’at (11/4) siang W
Kapolres Metro Tangerang Kota, Kombes Pol Zain Dwi Nugroho mengatakan penindakan dipimpin langsung oleh Kapolsek Jatiuwung, Kompol Rabiin beserta jajarannya dengan melibatkan ketua RT/RW dan tokoh masyarakat setempat.
Pengungkapan tersebut berdasarkan informasi dari masyarakat, bahwa terdapat salah satu rumah di tengah permukiman padat penduduk yang digunakan untuk memproduksi miras j
“Dari penggerebekan tersebut, petugas menemukan sebanyak 200 botol Ciu ukuran 200ml, siap untuk diedarkan. Tiga galon berisi Ciu. Peralatan memasak dan pengolahan (fermentasi) seperti drum dan paralon yang ditemukan di kamar, dapur dan ruangan atas rumah berlantai dua ini,” kata Zain dalam keterangannya kepada wartawan. Senin (14/4/2025).