Suara62.id || Jepara – Dalam dunia jurnalistik, klarifikasi adalah bagian penting dari prinsip keberimbangan informasi. Setiap berita yang menyangkut dugaan, opini publik, atau informasi yang berpotensi merugikan nama baik seseorang maupun institusi, wajib dilengkapi dengan hak jawab dan ruang klarifikasi dari pihak-pihak yang disebutkan. Namun, bagaimana jika klarifikasi tersebut ditanggapi dengan label “berita sampah”?

Hal inilah yang terjadi dalam respons Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Jepara terhadap artikel yang diterbitkan oleh media daring Radar Nasional berjudul “Viral! Diduga Adanya Penyelewengan Dana di Dinas Pariwisata Jepara” (http://www.radar-nasional.net/2025/04/viral-diduga-adanya-penyelewengan-dana.html), yang tayang pada awal April 2025.

Alih-alih memberikan klarifikasi atau hak jawab secara resmi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Kadis Pariwisata justru menyampaikan tanggapannya melalui pesan WhatsApp pribadi dengan menyebut bahwa berita tersebut adalah “berita sampah”.

Analisis Hukum

Secara hukum, tindakan Kepala Dinas Pariwisata tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk pengingkaran hak jawab. Pasal 5 ayat (2) UU Pers menyatakan bahwa:

“Pers wajib melayani Hak Jawab.”

Lebih jauh lagi, UU Pers juga mewajibkan pihak yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan untuk menempuh hak jawab dan bukan menyerang pribadi wartawan atau media. Penyebutan “berita sampah” tanpa proses klarifikasi resmi justru dapat mengarah pada dugaan pencemaran nama baik terhadap profesi wartawan dan institusi pers, yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE jo. Pasal 310 KUHP.

Pelanggaran Etika Profesi Wartawan?

Banyak yang bertanya, apakah jurnalis yang menulis artikel tersebut telah melanggar etika? Jawabannya harus dikaji dari isi artikel dan langkah verifikasi yang dilakukan.

Bila wartawan sudah:

  • Mengantongi dokumen dan data awal yang sahih;
  • Berusaha menghubungi pihak yang diberitakan untuk memberikan ruang konfirmasi;
  • Menerbitkan berita berdasarkan kepentingan publik dan bukan fitnah;

Maka tidak ada pelanggaran etik. Justru bila klarifikasi telah diminta secara resmi namun dijawab dengan hinaan atau pelecehan terhadap media, maka tindakan pejabat tersebut bisa dikategorikan melanggar etika pemerintahan dan prinsip keterbukaan informasi publik.

Pelanggaran Administratif

Dalam konteks pemerintahan daerah, pejabat publik diwajibkan untuk menjaga komunikasi yang transparan dan etis dengan media. Surat Edaran Mendagri No. 130/1870/SJ Tahun 2020 tentang Hubungan Pemerintah Daerah dan Media menyatakan bahwa:

“Pejabat pemerintah daerah wajib memberikan informasi publik secara akurat dan bijak kepada media sebagai mitra kerja strategis.”

Pernyataan melalui WhatsApp pribadi tanpa dasar resmi institusi, serta menyematkan label negatif terhadap media, menunjukkan pelanggaran administratif terhadap asas pelayanan publik dan akuntabilitas.

Penutup

Pers bukan alat provokasi, melainkan jembatan informasi antara rakyat dan negara. Kritik melalui berita seharusnya dibalas dengan klarifikasi, bukan hinaan. Ketika pejabat publik gagal bersikap proporsional dalam menghadapi kontrol sosial, maka mereka sedang menutup ruang demokrasi yang sehat.

Sudah saatnya setiap pihak, termasuk aparatur pemerintahan, memahami bahwa dalam ekosistem demokrasi, pers bukan musuh. Dan bagi wartawan, tetaplah teguh pada kode etik, meski klarifikasi kadang dibalas dengan caci maki.
(sus/Jateng)

By suara62

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *