Suara62.id || Jepara – Di tengah hiruk-pikuk pembangunan dan modernisasi, masih banyak konflik agraria yang menyisakan luka sejarah dan ketidakpastian hukum. Salah satu yang kini mencuat ke permukaan adalah kasus sengketa tanah SDN 10 Karanggondang, Kecamatan Mlonggo, Jepara. Meski sertifikat hak milik (SHM) atas nama pemerintah telah terbit, ahli waris almarhumah Surip binti Suimin tetap bersikukuh menuntut keadilan. Mengapa?
Dalam perspektif sosiologi hukum, kita perlu memahami bahwa hukum bukan sekadar norma tertulis atau produk administrasi negara seperti SHM, tetapi juga harus memiliki legitimasi sosial. Ketika hukum kehilangan legitimasi dari masyarakat terdampak, maka hukum itu akan dipersepsi tidak adil, meskipun formal sah 14/05/2025.

Munculnya SHM dalam konteks lahan yang telah disengketakan lebih dari 45 tahun justru memunculkan pertanyaan serius:
Apakah proses penerbitan SHM tersebut telah memenuhi asas transparansi, partisipasi, dan kejujuran?
Jika tidak, maka secara sosiologis, SHM tersebut bermasalah secara legitimasi, meskipun secara formal administratif mungkin sah.
Kenyataan bahwa ahli waris pernah memenangkan perkara di tingkat Pengadilan Negeri Jepara menunjukkan bahwa klaim mereka bukan isapan jempol. Meskipun kemudian kalah di tingkat banding, fakta bahwa salinan putusan belum sampai ke tangan ahli waris mengindikasikan bahwa ada ketimpangan informasi dan akses hukum yang harus diluruskan.
Ketimpangan ini memperlihatkan wajah hukum yang tidak sepenuhnya hadir untuk rakyat kecil. Hal ini memunculkan apa yang disebut para sosiolog sebagai legal cynicism — kondisi di mana masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap institusi hukum karena merasa hukum tidak lagi menjadi alat keadilan, melainkan alat kekuasaan.
Kamis, 15 Mei 2025 nanti, mediasi akan dilakukan. Ini adalah momen penting. Namun mediasi yang hanya menjadi formalitas akan gagal menjawab akar persoalan.
Oleh karena itu, dalam pendekatan sosiologis, setidaknya ada tiga prasyarat agar mediasi benar-benar adil dan bermakna:
- Partisipasi setara dari semua pihak, termasuk ahli waris yang selama ini terpinggirkan.
- Kehadiran mediator independen yang tidak berpihak dan mampu menjaga integritas proses.
- Audit terbuka terhadap proses penerbitan SHM, termasuk penelusuran kronologi administratif dan legal sebelumnya.
Kalau ini tidak dilakukan, maka kasus Karanggondang bisa menjadi preseden buruk bahwa negara bisa menerbitkan sertifikat atas tanah yang disengketakan tanpa menyelesaikan konflik sosialnya. Ini sangat berbahaya dalam perspektif keadilan sosial.
Keadilan hukum bukan sekadar soal menang atau kalah di pengadilan. Lebih dari itu, keadilan adalah rasa yang hidup dalam masyarakat. Ketika masyarakat kecil merasa dikhianati oleh proses hukum dan administrasi negara, maka kita semua sedang menyaksikan runtuhnya wibawa hukum itu sendiri.
Sudah saatnya pemerintah berhenti memandang konflik agraria hanya dari aspek teknis administrasi. Lihatlah dengan lensa sosiologis: bahwa ada luka sejarah, ketimpangan, dan jeritan rakyat kecil yang belum disembuhkan. Dan penyembuhannya hanya bisa dimulai dari pengakuan atas ketidakadilan yang selama ini dibiarkan.
Tulisan ini disusun dalam rangka menyambut proses mediasi pada 15 Mei dan sebagai pengingat bahwa hukum yang adil bukan hanya tertulis di atas kertas, tetapi juga dirasakan oleh hati nurani masyarakat.
(sus/Jateng)