Suara62.id || Jakarta – Nabi Muhammad SAW adalah pribadi paripurna: teladan dalam ibadah, kecerdasan berpikir, kejernihan hati, hingga kepemimpinan. Beliau tidak hanya membimbing umat secara spiritual, tetapi juga mengajarkan pentingnya optimisme, ketenangan, dan inovasi dalam menghadapi tantangan kehidupan.

Dalam banyak hadits, Rasulullah SAW menekankan pentingnya sikap tenang dan berpikir jernih.
Beliau bersabda:
“Tenang itu dari Allah, dan tergesa-gesa itu dari setan.”
(HR. Tirmidzi)
Ketika seseorang memiliki ketenangan jiwa, ia mampu menghadapi masalah dengan kepala dingin, membuat keputusan yang tepat, dan tetap kuat dalam badai ujian. Inilah modal ruhani seorang pejuang dalam menegakkan nilai-nilai kebaikan.
Allah SWT pun memberikan jaminan spiritual kepada orang-orang yang berjuang di jalan-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
(QS. Muhammad: 7)
Namun, dalam setiap perjuangan, tidak sedikit ujian datang berupa pengkhianatan, fitnah, dan ketidakadilan. Hati bisa terluka, semangat bisa surut. Di sinilah pentingnya menjaga kebeningan hati dan kekuatan jiwa.
“Hilangkan perasaan sakit hati untuk mengobatinya.”
Sakit hati yang dipelihara hanya akan menjadi racun batin. Islam tidak mengajarkan dendam, melainkan memuliakan kekuatan memaafkan. Inilah tingkatan tertinggi dari keimanan dan spiritualitas.
Allah SWT berfirman:
“Barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.”
(QS. Asy-Syura: 40)“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Baqarah: 153)
Kesabaran yang disandingkan dengan ketenangan dan keikhlasan adalah jalan pembuka kemajuan. Karena hati yang damai adalah kunci bagi lahirnya pikiran yang jernih dan produktif.
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah SWT menyatakan:
“Aku tergantung pada prasangka hamba-Ku kepada-Ku.”
(HR. Bukhari-Muslim)
Maka berprasangkalah baik kepada Allah. Yakinlah bahwa pertolongan dan keberkahan-Nya akan datang kepada mereka yang berpikir positif, bekerja keras, dan berjuang dengan tulus.
Umat Islam di Era Disrupsi
Kita hidup di era disrupsi digital, penuh ketidakpastian dan arus informasi yang deras. Maka umat Islam tidak cukup hanya berbekal keimanan dan semangat, tetapi juga dituntut untuk:
Berpikir kritis, agar tidak tersesat dalam hoaks dan manipulasi informasi,
Bersikap kreatif, dalam menghadapi masalah dan kompleksitas kehidupan,
Berinovasi, untuk menawarkan solusi nyata bagi umat dan bangsa.
Ketika iman, ketenangan, kesabaran, dan kecerdasan berpadu, maka lahirlah pribadi muslim yang unggul:
Tangguh menghadapi ujian, cerdas mencari jalan, dan kuat dalam menebar manfaat.
Kini saatnya umat Islam bangkit membawa semangat baru:
Bukan dengan kemarahan, tetapi dengan visi.
Bukan dengan dendam, tetapi dengan kesabaran.
Bukan dengan pesimisme, tetapi dengan harapan besar.
Menjadi Kader Bangsa yang Religius dan Nasionalis
Saatnya umat Islam berpikir besar, berprasangka baik kepada Allah, dan meyakini bahwa kita mampu menjadi kader bangsa yang:
Nasionalis dalam cita-cita dan Religius dalam akhlak dan amal.
Menjadi muslim yang tidak hanya kuat di sajadah, tapi juga hadir di tengah masyarakat sebagai penebar manfaat, pelopor kemajuan, dan penjaga moral bangsa.
Wallāhu al-muwaffiq ilā aqwāmith-tharīq.
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuhUstadz M. Mirza, S. Kom., M. I. Kom