Suara62.id || Jepara – Kisah menyayat hati datang dari FMM (55), warga Perumahan Mutiara Hati 2, Blok F10, Desa Ngabul, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, yang kini terbaring lemah di RSUD Kartini Jepara setelah mengalami kondisi memburuk usai menjalani operasi ginjal di RS Graha Husada Jepara. Alih-alih pulih, FMM justru mengalami demam tinggi, muntah hebat, dan tidak bisa makan beberapa jam setelah dipulangkan tanpa edukasi medis pasca operasi.


Dugaan maladministrasi dan penelantaran pasien pun mencuat. Menurut keluarga, pihak rumah sakit tidak menjelaskan potensi komplikasi pasca operasi, tidak memberikan obat pelindung lambung, dan ketika pasien kembali dalam kondisi darurat, ia justru ditolak dengan alasan di luar jadwal layanan BPJS. Padahal, menurut Permenkes No. 4 Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Tenaga Kesehatan, rumah sakit wajib memberikan pelayanan medis kepada pasien dalam kondisi gawat darurat tanpa memandang status jaminan kesehatan.
“Ini bukan kontrol biasa, ini darurat. Tapi kami justru diminta bayar umum. Di mana tanggung jawab rumah sakit?” kata Andin, putra pasien. Penolakan penanganan dalam situasi darurat dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak pasien dan dugaan malpraktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, serta Pasal 46 dan 47 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang menyatakan rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap segala kerugian yang ditimbulkan dari kelalaian pelayanan.
Pasien akhirnya dibawa ke RSUD Kartini tanpa rujukan dari RS Graha, dan didiagnosis mengalami infeksi saluran kemih dan GERD berat. Kini, seluruh aktivitas FMM harus dibantu, termasuk buang air menggunakan pispot.
Ironisnya, informasi vital mengenai prosedur operasi baru disampaikan menjelang kepulangan pasien, dan pasien tidak lagi ditangani oleh dokter utama, melainkan oleh dokter pengganti. Praktik ini dinilai oleh pendamping pasien sebagai pelanggaran Kode Etik Kedokteran Pasal 4, yang mewajibkan dokter menjelaskan risiko dan alternatif tindakan kepada pasien secara jelas sebelum dan sesudah prosedur medis.

Indikasi Maladministrasi dan Pelanggaran Etika Medis

Kurangnya Edukasi Pasien Pasca Operasi

  • Pasien tidak diberi penjelasan memadai tentang kemungkinan efek samping atau komplikasi pascaoperasi. Hal ini melanggar Hak Pasien sesuai UU No. 36 Tahun 2009 dan Kode Etik Kedokteran Pasal 4, yang mewajibkan tenaga medis menjelaskan risiko dan tata laksana pascatindakan medis.

Tidak Diberikan Obat Pelindung Lambung (gastroprotektor)

  • Padahal pasien berusia lanjut dengan riwayat asam lambung. Ketiadaan pencegahan ini diduga turut memperburuk kondisi lambung pasien.

Penolakan Pasien Gawat Darurat dengan Alasan Administratif

Penolakan oleh RS Graha ketika pasien kembali dalam keadaan darurat sangat disesalkan. Ini berpotensi melanggar Pasal 29 huruf d UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Permenkes No. 4 Tahun 2018 yang menyatakan bahwa rumah sakit tidak boleh menolak pasien gawat darurat dalam kondisi apa pun, termasuk alasan administratif atau jadwal BPJS.

Pasien Tidak Lagi Ditangani Dokter Utama

Kontinuitas penanganan medis tidak dijaga karena setelah operasi, pasien tidak lagi ditangani oleh dokter spesialis yang sama, melainkan dokter lain tanpa transisi yang jelas. Ini melanggar prinsip continuity of care dan menunjukkan dugaan pelanggaran standar prosedur operasional rumah sakit.

Dampak Terhadap Korban

Saat ini FMM dalam kondisi lemah, tidak bisa berdiri, makan dibantu, dan buang air hanya bisa menggunakan pispot. Semua aktivitas bergantung pada bantuan keluarga. Kejadian ini tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik pasien, tetapi juga psikologis seluruh keluarga.

Tanggapan Keluarga dan Pendamping Hukum

“Kami tidak ingin hal ini menimpa orang lain. Kami sedang mempersiapkan pelaporan resmi ke Dinas Kesehatan, BPJS, IDI, dan Ombudsman,” ujar Eny, adik korban. Aktivis sosial yang mendampingi keluarga menyebut kasus ini sebagai bukti bahwa rumah sakit swasta perlu diaudit dari sisi tata kelola dan etika medis.
“Ini bukan sekadar malpraktik individual, ini soal kegagalan sistem perlindungan pasien. Kami minta investigasi terbuka,” tambahnya.

Aspek Hukum yang Dapat Dikenakan

  • Pasal 190 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan: Rumah sakit atau tenaga kesehatan yang menolak pasien gawat darurat dapat dikenakan pidana.
  • Pasal 46 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit: Rumah sakit bertanggung jawab atas kerugian akibat kelalaian.
  • Pasal 32 UU Perlindungan Konsumen: Penyedia jasa kesehatan wajib memberikan pelayanan sesuai dengan kesepakatan dan standar profesi.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa pelayanan kesehatan bukanlah ruang bisnis semata, melainkan ruang kemanusiaan dan profesionalisme. Penelantaran pasien adalah kejahatan medis dan pelanggaran HAM. Semua pihak harus introspeksi: dari manajemen rumah sakit, lembaga pengawas, hingga pembuat kebijakan.
Sudah saatnya negara hadir untuk memastikan bahwa setiap nyawa diperlakukan secara adil dan manusiawi—bukan berdasarkan status kartu atau hari kerja.

Hingga laporan ini diturunkan, pihak RS Graha Husada Jepara belum memberikan tanggapan resmi. Sementara FMM masih dirawat dalam kondisi sangat lemah di RSUD Kartini Jepara.

Apakah sistem layanan kesehatan kita akan terus membiarkan nyawa manusia tergadai oleh logika bisnis dan alasan administratif? Atau sudah saatnya kita tegaskan: rumah sakit bukan sekadar institusi ekonomi, melainkan panggilan nurani?
(sus/Jateng)

By suara62

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *